Sabtu, 25 Februari 2012

Bedhug Pendowo


Bedhug Pendhowo dibuat pada tahun 1834 dibawah pengawasan Wedono Jenar Raden Ngabehi Prawironegoro. Bedhug Pendowo terbuat dari pangkal batang pohon jati Pendhowo yang dulu tumbuh di Dukuh Pendhowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, sekitar 9 kilometer arah selatan Kota Purworejo. 

Pangkal batang pohon jati Pendhowo memiliki garis tengah lebih dari dua meter dengan ketinggian pohonya mencapai puluhan meter. Pohon jati Pendhowo berukuran “raksasa” ini usianya sudah ratusan tahun. Desa Bragolan sendiri merupakan tanah kelahiran Raden Ngabehi Singo Wijoyo yang tak lain ayah Cokronegoro I. 

Sehingga pada saat menjabat Bupati Purworejo dan ingin membangun masjid serta pendopo kabupaten,  Cokronegoro I menugaskan orang untuk menebang pohon tersebut. Cabang-cabang pohon jati Pendhowo selanjutnya digunakan untuk membangun masjid dan pendopo kabupaten. Sementara pangkal batangnya yang berukuran sangat besar itu digunakan untuk membuat sebuah bedhug. 

Begitu besarnya ukuran pangkal batang tersebut sehingga pembuatan bedhug “raksasa” dilakukan ditempat. Pembuatan bedhug memakan waktu sekitar tujuh bulan. Prosesnya, setelah batang kayu dikupas, bagian dalam pangkal batang dibakar dengan arang kayu asam. Sebab hanya arang kayu asam saja yang dapat dan mampu menembus kayu jati berusia ratusan tahun.

Untuk menembus batang kayu membutuhkan waktu pembakaran sekitar tiga bulan. Setelah tembus kemudian dirapikan dengan tatah dan membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Setelah bedhug jadi, muncul persoalan baru, yakni bagaimana cara mengangkut bedhug tersebut ke Masjid Agung di Purworejo. Apalagi pada waktu itu sarana transportasi masih sangat terbatas ditambah kondisi jalan tidak semulus seperti sekarang ini. 

Belum lagi ukuran bedhug Pendhowo yang luar biasa besar. Panjang bedhug 292 cm, lingkaran bagian depan 601 cm, lingkaran belakang 564 cm, diameter bagian depan 194 cm dan diameter bagian belakang 180 cm. Akhirnya bupati mengadakan sayembara barang siapa mampu membawa bedhug Pendhowo dari Desa Bragolan ke Masjid Agung akan diberi hadiah yang layak. Setelah beberapa lama berlalu akhirnya ada orang yang sanggup membawa bedhug tersebut. 

Orang itu adalah Kiai Irsyad, seorang ulama besar dari Desa Solotiang, Loano. Namun demikian Kiai Irsyad tidak sendirian dalam memboyong bedhug tersebut, melainkan dibantu oleh puluhan orang. Metode yang digunakan Kiai Irsyad dalam mengangkut bedhug tersebut cukup unik dan cerdas. Yaitu dengan menaruh gelondongan –gelondongan kayu kecil dibawah bedhug. 

Setiap gelondongan kayu kecil yang sudah terlewati bedhug akan ditaruh didepan sehingga akan sambung menyambung layaknya roda-roda kecil. Mengingat besarnya bedhug, Kiai Irsyad mendirikan 20 pos peristirahatan. Setiap hari pengangkutan harus mampu mencapai satu pos yang berjarak sekitar 500 meter. 

Setiap berhenti pada pos peristirahatan para pekerja akan dihibur oleh kesenian tayub dan penari wanita atau teledhek. Karena itu, cerita yang berkembang di masyarakat pada waktu itu mengibaratkan bedhug tersebut ditarik oleh selendang penari tayub. Demikian seterusnya hingga perjalanan itu sampai ke Purworejo. 

Untuk pengangkutan bedhug tersebut dibutuhkan waktu sekitar 21 hari. Agar awet dan bertahan lama , Bedhug  Pendhowo menggunakan kulit banteng dari Desa Sucen persembahan dari Glondhong Jayeng Kewuh yang tak lain teman seperjuangan Cokronegoro I. Untuk menambah gaung suara, di dalam Bedhug Pendhowo digantungkan gong. 

Supaya tidak cepat rusak, Bedhug Pendhowo hanya ditabuh pada hari Jum’at atau perayaan keagamaan Islam. Hingga kini Bedhug Pendhowo merupakan salah satu aset wisata relegius yang tidak pernah sepi dikunjungi wisatawan. Sampai sekarang Bedhug Pendhowo masih tercatat sebagai bedhug terbesar di Indonesia yang bahanya terbuat dari kayu utuh tanpa sambungan. 

Memang ada bedhug sejenis yang besarnya melebihi Bedhug Pendowo, namun semua menggunakan bahan kayu sambungan. Sehingga ke istimewaanya masih kalah dibanding Bedhug Pendhowo. Bedhug raksasa di Indonesia atau mungkin di dunia hanya ada dua. Seperti ditulis oleh Harian Kompas terbitan 22 Februari 1978, ketika Masjid Istiqlal diresmikan, kutipannya sebagai berikut : 

“Dengan adanya bedhug besar Masjid Istiqlal ini, Indonesia kini memiliki dua buah bedhug raksasa. Sebelumnya, bedhug Masjid Purworejo merupakan bedhug terbesar di Tanah Air. Garis tengahnya hanya berbeda 8 cm. Bedhug Istiqlal 2 meter, sedang Purworejo 1,92 meter yang dibuat kurang lebih satu abad yang lalu”.
 
Bedhug Pendhowo adalah salah satu karya besar RAA Cokronegoro I yang kini diwariskan kepada masyarakat di daerahnya. Meski Cokronegoro I sudah banyak berjasa pada daerahnya, sayang namanya tidak pernah diingat apalagi dihargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar