Sabtu, 25 Februari 2012

Perjalanan Hidup RAA Cokronegoro I


Cokronegoro I atau Raden Mas Reso Diwiryo adalah putra sulung dari Raden Bei Singo Wijoyo. Lahir pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Mei 1779 bertepatan pada tahun Ehe 1708 Saka di Desa Bragolan dalam afdeling Bagelen atau sekarang wilayah Kecamatan Purwodadi. Tidak diketahu secara pasti apa latar belakang pendidikan RM Reso Diwiryo. Yang jelas, ketika remaja mengabdi di Kepatihan Kraton Surakarta dengan tugas mengawasi irigasi di daerah Ampel, Boyolali

Setelah lama magang (mencalonkan diri menjadi pegawai istana) akhirnya bisa masuk menjadi abdi dalem Kraton Surakrta dengan pangkat Mantri Gladhag. Dalam perpustakaan Kraton Surakarta tidak dijelaskan secara rinci apa tugas dari Mantri Gladhag. Sejumlah analisa menyebutkan tugas Mantri Gladhak adalah pengawas para nara pidana yang akan sidang di pengadilan. Ada juga yang menyebutkan tugas Mantri Gladhag adalah pimpinan kantor pengurus pajak keraton. 

Terlepas dari semua itu, sebagai abdi dalem yang bertugas sebagai Mantri Gladhag RM Reso Diwiryo dipandang berhasil dalam mengemban tugas. Disebutkan, pada tahun 1812, Pemerintah Kolonial Belanda tergusur. Pemerintah diambil alih oleh Inggris dengan Jendral Raffles sebagai Gubernurnya. Dengan adanya perubahan kepimpinan di Batavia (Jakarta) timbul perlawanan dari Surakarta yang dibantu oleh laskar India (Sipahi) untuk melawan Inggris. 

Akibat perlawanan itu, wilayah afdeling diminta oleh Inggris dari tangan Raja Surakarta. Para Pengeran dan pembesar keraton yang mempunyai siti lenggah (tanah bengkok) di Kedu dipindahkan ke afdeling Bagelen. Untuk melalukan perubahan tersebut tidaklah mudah. Hasil perubahan yang dilakukan oleh petugas yang melaksanakan pergantian tersebut hasilnya sangat mengecewakan bagi para Pangeran maupun pembesar keraton. 

Mereka kemudian usul kepada raja supaya petugasnya diganti dan diadakan pengukuran ulang. Untuk melaksanakan tugas berat itu Sunan Paku Buwono VI memerintahkan RM Reso Diwiryo melakukan pengukuran ulang. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimiliki oleh RM Reso Diwiryo, maka dengan cepat dirinya dapat menguasai peta tanah milik Keraton Surakarta. Setelah bisa menguasai peta tanah keraton dengan pasti, kemudian dibagikan kepada pangeran dan pembesar keraton sesuai haknya masing-masing. 

Hasilnya, semua yang mempunyai hak atas siti lenggah merasa puas. Atas keberhasilan itu RM Reso Diwiryo diangkat menjadi Penewu Gladhag dan bergelar Raden Ngabei Reso Diwiryo. Setelah peristiwa itu nama R Ng Reso Diwiryo mulai dikenal oleh para pangeran, pembesar bahkan oleh Sunan Paku Buwono VI. Pada tahun 1819 di wilayah Bagelen sering terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh para begal dan perampok sehingga rakyat sangat ketakutan. 

Adanya kerusuhan itu Sunan Paku Buwono VI kemudian menugaskan R.Ng. Reso Diwiryo dan R.Ng. Wongsocitro untuk menumpas para perusuh. Berkat kesaktian ke dua orang itu akhirnya para perusuh bisa ditumpas dan keadaan pulih seperti sediakala. Tahun 1820, Sunan Paku Buwono VI akan membangun sumur di dalam keraton. Yang mendapat tugas para Mantri dan Pnewu Gladhag. Sunan Paku Buwono mengawasi sendiri pembuatan sumur tersebut. 

Waktu itu R. Ng Reso Diwiryo bertugas menggali di dalam sumur. Ketika siang hari, para abdi dalem disuruh berhenti untuk istirahat. R. Ng Reso Diwiryo juga diminta untuk naik dari dalam sumur dan Sunan Paku Buwono VI sendiri yang menolongnya. Ketika hampir sampai di bibir sumur tangan Reso Diwiryo diulurkan untuk menyambut tangan Sri Sunan tapi meleset. Bukan tangan Sri Sunan yang  dipegang, melainkan sebilah keris pusaka keraton yang terselip di pinggan Sri Sunan. 

Sesudah bilah keris dipegang oleh Reso Diwiryo, sarung keris yang terselip di pinggang Sri Sunan diambil dan diserahkan pada Reso Diwiryo. Sri Sunan kemuidan memberitahu jika sebenarnya keris pusaka keraton yang bernama Kyai Basah itu memang akan diberikan pada Reso Diwiryo. Dalam sekejap, kejadian itu menjadi buah bibir isi kerato. Para pangeran dan pembesar keraton akhirnya mengetahui semua kalau Reso Diwiryo baru saja mendapat anugerah keris Kyai Basah dari Paku Buwono VI karena dianggap abdi yang setia dan cekatan. 

Peristiwa itu juga didengar oleh Patih Danurejo, sehingga selang empat hari kemudian Reso Diwiryo dipanggil ke kepatihan. Patih Danurejo ingin melihat keris Reso Diwiryo pemberian dari Sri Sunan. Sebagai abdi dalem keris pemberian Sri Sunan yang masih menggunakan kerangka mamas (emas campuran) itu ditunjukkan kepada Patih Danurejo. 

Setelah melihat ternyata Patih Danurejo sangat tertarik dan ingin memilikinya. Untuk menjatuhkan mental Reso Diwiryo, Patih Danurejo mengatakan jika sebenarnya keris itu hanya pantas bagi orang yang memiliki jabatan serendah-rendahnya seorang  bupati dan sangat tidak pantas dimiliki oleh panewu. Setelah itu Patih Danurejo menyuruh istrinya untuk mengganti keris itu dengan keris miliknya yang menggunakan kerangka emas murni dan diberikan kepada Reso Diwiryo. 

Namun Reso Diwiryo menolak jika kerisnya diganti dengan keris lain meski dengan kerangka emas murni. Reso Diwiryo kemudian beralasan jika sebenarya keris itu bukan pemberian dari Sri Sunan, tetapi miliknya sendiri yang pada waktu akan menggali sumur dan dipegang Sri Sunan. Mendengar alasan itu Patih Danurejo tetap tidak percaya dan sangat kecewa lantaran Reso Diwiryo sudah dianggap berbohong. 

Atas penolakan itu Patih Danurejo menanggap Reso Diwiryo bukan abdi yang setia dan tidak layak menjabat sebagai Panewu Gladhag. Saat itu pula pangkat Reso Diwiryo diturunkan lagi menjadi Mantri Gladhag. Kecewa dengan tindakan Patih Danurejo yang sewenang-wenang dan menganggap dirinya bukan abdi yang setia, Reso Diwiryo kemudian mengundurkan diri dari pegawai keraton. Jabatan Mantri Gladhag lalu diserahkan kepada anak sulungnya yang bernama Ngabei Cokrosoro.

 Karena kecewa bercampur malu, Reso Diwiryo kemudian memutuskan tidak akan keluar lagi dari lingkungan rumahnya di Surakarta. Selain itu Reso Diwiryo juga tidak akan bergaul lagi dengan piyayi keraton. Dalam masa-masa sulit itu Reso Diwiryo sering dikunjungi dan dihibur hatinya oleh Pangeran Kusumoyudo yang sejak dulu memang sangat akrab. Untuk menenangkan diri, Reso Diwiryo kemudian bertekad akan membersihkan rohaninya dengan cara laku tirakat. 

Tirakat yang dilakukan oleh Reso Diwiryo selama bertahun-tahun itu oleh para sespuh sebagai tirakat “puji dino”. Laku tirakat ini sangat berat dan bagi orang yang tidak kuat  mentalnya bisa terganggu. Setelah merasa cukup melakukan tirakat di Surakarta, Reso Diwiryo kemudian mengunjungi rumah orang tuanya di Tanah Bagelen. Tetapi Reso Diwiryo tidak ketemu ibunya karena setelah suaminya meninngal Nyai Singo Wijoyo tidak lagi tinggal di Bragolan. 

Nyai Singo Wijoyo memutuskan kembali ke desa asalnya di Desa Ngasinan (sekarang masuk wilayah Kecamatan Banyuurip). Setelah bertemu ibunya Reso Diwiryo kemudian mengutarakan maksud kedatangannya. Yakni ingin melakukan tirakat “ngluwat”. Tirakat Ngluwat merupakan laku tirakat yang sangat berat. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melakukannya. Tirakat ngluwat adalah tirakat dengan cara mengubur diri selama 40 hari di dalam tanah. Pada awalnya Nyai Singo Wijoyo keberatan dengan tindakan yang dilakukan oleh anaknya. Namun karena tekad Reso Diwiryo sudah bulat, maka dengan cemas Nyai Singo Wijoyo akhirnya mengijinkan. 

Tetapi untuk hal-hal yang tidak diinginkan tempat untuk mengubur diri Reso Diwiryo dijaga oleh adik bungsunya yaitu R. Ng Prawironegoro. Bertepatan dengan Reso Diwiryo yang sedang menempa diri dengan menjalani sejumlah tirakat, berawal dari Keraton Yogyakarta meletus Perang Diponegoro atau Perang Jawa tahun 1825 – 1830. Pangeran Diponegoro yang mendapat dukungan dari sejumlah pangeran dan pembesar keraton Yogyakarta melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan yang terjadi pada saat itu. 

Pahlawan Gua Selarong ini juga mendapat dukungan dari Kyai Maja ulama besar Keraton Surakarta yang berasal dari Tanah Bagelen. Selain itu juga mendapat dukungan dari Sentot Prawirodirjo, putra adipati Madiun R. Ng Prawiro Dirjo yang meninggal karena diperdaya Belanda. Peperangan yang berawal dari Yogyakarta itu terus merebak hingga akhirnya berpusat di Tanah Bagelen. 

Kekuatan dan pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro berada di Sedayu, Kuwojo, Lugu, Karangduwur, dan Legis. Markas besar pasukannya berada di Legis dan dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro. Dalam mengahadapi peperangan tersebut Belanda benar-benar kewalahan dan nyaris tidak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro yang menerapkan perang gerilya. 

Kekalahan pasukan Belanda yang cukup telak terjadi pada hari Kamis Kliwon tanggal 1 Jumadilawal 1168 Hijriyah atau 7 Januari 1823. Dimana sekitar 300 pasukan Pangeran Diponegoro berhasil menghancurkan pos terdepan tentara Belanda di sebelah utara Brengkelan. Pangeran Diponegoro kemudian membentuk pemerintahan di berbagai wilayah dengan dengan mengangkat Bupati Madyokusomo di Brengkelan.
 
Disamping itu juga diangkat tumenggung, demang, ronggo. Para tumenggung yang diangkat antara lain, Tumenggung Tanggung (wilayahnya sebelah timur Sungai Bogowonto), Tumenggung Loning, Tumenggung Karangduwur, Tumenggung Pacor, Tumenggung Semawung, Tumenggung Ambal, dan Tumenggung Wingko. Kewalahan menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro, Pemerintah Hindia Belanda menyeret Kasunanan Surakarta untuk terlibat dalam peperangan tersebut. 

Alasanya, Tanah Begelen yang dikuasai oleh Pangeran Diponegoro merpakan wilayah Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sebenarnya Paku Buwono VI menolak untuk terlibat dalam peperangan itu karena terjadinya perang bersumber dari Yogyakarta. Namun lantaran dibujuk dan diberitahu kalau Tanah Begelen milik Keraton Surakarta sudah direbut Pangeran Diponegoro, akhirnya Keraton Surakarta memberangkatkan pasukannya dengan senopati atau penglima perangnya Pangeran Kusumoyudo. 

Pangeran Kusumoyudo adalah paman dari Susuhunan Paku Buwono VI dan sahabat karib R. Ng Reso Diwiryo. Sebelum berangkat ke Tanah Bagelen Pangeran Kusumoyudo memohon agar Paku Buwono VI memanggil R. Ng Reso Diwiryo untuk mendampingi dirinya. Alasanya, meski sudah mengundurkan diri sebagai abdi dalem Keraton Surakarta namun R. Ng Reso Diwiryo adalah abdi setia yang berasal dari Tanah Bagelen. 

Susuhunan Paku Buwono VI kemudian memanggil R. Ng Reso Diwiryo untuk ikut berperang di Tanah Bagelen dengan pangkat Senopati Pengamping. Tugasnya menjadi penunjuk jalan bagi pasukan Surakarta dan mendampingi Pangeran Kusumoyudo. Pada awalnya R. Ng Reso Diwiryo menolah tugas itu dan mengusulkan agar anaknya yang nomor dua yaitu Ngabei Cokrodiwryo. Namun Susuhunan Paku Buwono VI tidak berkenan karena Ngabei Cokrodiwiryo dianggap belum begitu menguasai kondisi Tanah Bagelen. 

Sebagai abdi setia, R. Ng Reso Diwiryo akhirnya menerima tugas tersebut. Bersama pasukan Keraton Surakarta R. Ng Reso Diwiryo kemudian kembali ke Tanah Bagelen. Sejak datangnya bantuan dari pasukan Keraton Surakarta, pasukan Pangeran Diponegoro mulai terdesak mundur. Sebagai prajurit sekaligus tangan kanan Pangeran Kusumoyudo kemampuan R. Ng Reso Diwiryo di medan perang sangat mumpuni dan mendapat pujian dari Keraton Surakarta. 

Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1828 R. Ng Reso Diwiryo diangkat oleh Susuhunan Paku Buwono VI sebagai Tumenggung di Brengkelan dengan gelar KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Cokro Joyo. Dengan jabatan itu, R. Ng Reso Diwiryo mendapat hak siti lenggah atau tanah bengkok seluas 500 bau (350 hektar) di bumi Tanggung (dalam buku tulisan E.S de Clereq disebutkan : Tanah Kraton Surakarta berada di sebelah timur Sungai Jali, Lesung dan Bogowonto serta di sebelah selatan Lereng).
 
Bumi Tanggung adalah tanah di sebelah timur Sungai Bogowonto dan kini berada dalam wilayah Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo. Selama perang,  Pangeran Kusumoyudo tak pernah turun ke medan laga dan hanya berada di Tangsi Kedhung Kebo.(seperti dituliskan ole R. Sudiro Tjokrokusumo dalam buku sejarah Purworejo). Suatu kali R. Ng, Reso Diwiryo ditanya oleh seorang opsir Belanda tentang kelakuan Pangeran Kusumoyudo yang tidak mau berperang dan hanya bersenang-senang di markas besar. 

R. Ng Reso Diwiryo menjawab bahwa selama ada dirinya Pangeran Kusumoyudo tidak perlu turun tangan. R. Ng Reso Diwiryo adalah abdi yang setia kepada Keratoan Surakarta dan Rajanya. Demikian juga terhadap Pangeran Kusumoyudo yang sudah mengentaskan dirinya dari ketidak pastian menjadi orang bermartabat. Sehingga R Ng Reso Diwiryo selalu membela sikap Pangeran Kusumoyudo. 

Selama dalam peperangan itu R. Ng Reso Diwiryo mengajak adik bungsunya R.Ng Prawironegoro dan abdinya Jayeng Kuwuh. Prang terus berkecamuk dan sepertinya tidak pernah akan berakhir. Pasukan Pangeran Diponegoro sangat sulit dikalahkan. Pemerintah Hindia Belanda sangat kesulitan meredam Perang Jawa yang sangat besar tersebut. Akhirnya melalui Jendrla De Kock mengajak Pangeran Diponegoro untuk mengadakan perjanjian perdamaian di Magelang. 

Pangeran Diponegoro menyetujui rencana perdamaian itu. Pangeran Diponegoro berangkat di Magelang tanggal 28 Maret 1830 tanpa diiringi pasukannya. Tapi dengan tipu dayanya Belanda kemudian menangkap Pangeran Diponegoro dan membuangnya ke Makasar. Sesuai perjanjian antara Raja Yogyakarta, Surakarta dan Pemerintah Hindia Belanda pada 22 Juni 1830, segera dilakukan pembenahan kepada para bupati maupun tumenggung yang dulu diangkat oleh Raja Surakarta, termasuk KRT Cokro Joyo atau R. Ng Reso Diwiryo. 

KRT Cokro Joyo kemudian ditetapkan sebagai Bupati Brengkelan. Hal tersebut sesuai perjanjian bahwa semua pejabat yang ada di wilayah Bagelen maupun Banyumas tidak ada yang diganti. Pada saat akan dilantik menjadi bupati, KRT Cokro Joyo mengusulkan agar nama Brengkelan diganti dengan Purworejo. Alasanya, nama Brengkelan berasal dari kata mrengkel atau ngeyel. Yang mengandung makna suka mendebat atau menentang, sehingga dikhawatirkan jika masih menggunakan nama tersebut daerahnya akan sulit majudan berkembang. 

Sementara nama Purworejo bermakna Purwo berarti awalan atau “wiwitan” dan rejo artinya kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Pemerintah Hindia Belanda dan Raja Surakarta menyetujui usulan tersebut sehingga sejak 18 Desember 1830 lahirlah nama Kabupaten Purworejo. 

Adapun bupati yang pertama adalah Raden Ngabei Reso Diwiryo atau KRT Cokro Joyo yang kemudian setelah berpangkat bupati dengan nama Raden Adipati Aryo (RAA) Cokronegoro. Pelantikan dan pengambilan sumpah dilakukan oleh Penghulu Kabupaten KH Baharudin. Namun Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Jendral Hindia Belanda baru terbit tanggal 22 Agustus 1831.
 
Sehingga dalam menjalankan tugas sebagai Bupati Purworejo terhitung sejak tahun 1831. Sejarah Berdirinya Kabupaten Purworejo memang tercatat demikian adanya. Sebab pada zaman itu yang ada di Indonesia hanya Pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta), Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Sampai kapanpun sejarah tetap akan mencatat bahwa yang mengusulkan dan memberi nama Brengkelan diganti dengan Purworejo adalah RAA Cokronegoro I pada tanggal 18 Desember 1830. 

Tulisan ini sama sekali tidak punya tujuan untuk melawan Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 9/DPRD/1994 yang menetapkan Hari Jadi Kabupaten Purworejo tanggal 5 Oktober 901. Dasar Peraturan Daerah itu dengan ditemukannya Prasasti Kayu Arahiwang di Desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo. Keluarga atau trah Singowijayan hanya ingin memberi pengertian kepada seluruh ahli waris Singowijoyo dan masyarakat Purworejo pada umumnya siapa sebenarnya pendiri, pemberi nama dan yang meletakkan dasar-dasar pembanguna di Kabupaten Purworejo. 

Disamping itu juga agar masyarakat Purworejo mengetahui bagaimana sebenarnya jalan pikiran RAA Cokronegoro I. Untuk mengetahui dan memahami memang harus membaca Serat Babad Kedhung Kebo yang ditulis sendiri oleh RAA Cokronegoro pada tahun 1831. Serat Babad Kedhung Kebo setebal 700 halaman tersebut ditulis dalam bentuk kidung serta menggunakan bahasa kawi yang sangat indah. Hal itu menunjukkan bahwa RAA Cokronegoro I bukan hanya sekedar seorang prajurit, priyayi, dan abdi dalem saja.

 Melainkan juga seorang seniman besar yang mampu merangkai babad yang panjang. Berikut adalah cuplikan kidung yang sudah dijadikan tesis oleh sarjana Belanda Pieter Carrie. Dalam kidung dengan lagu “mijil” salah satu bait menyebut-nyebut nama Pengeran Diponegoro. Diantaranya berbunyi sebagai berikut :

“Yayi Mas Ontowiryo sangkara neki
Urut Sewu Lan Temon sing diceker
Kedhundung, Balak, Nimbuli
Puyuh-puyuh sinarpada yeki
Sun balang belanggur”.
Yang arti luasnya :
“Dinda Ontowiryo mengapa begini
Urut Sewu dan Temon kenapa dirusak
Masih ditambah Kedhundung, Balak dan Nimbuli
Dhuh-dhuh, waspadalah sekarang
Akan kulempar kau dengan meriam”       
                 
Ontowiryo adalah nama kecil dari Pangeran Diponegoro. Dengan menyebut “yayi” atau adinda, jelas bahwa hubungan antara dirinya dengan Pangeran Diponegoro sangat dekat. Bila pada saat itu dirinya melakukan perlawanan sebenarnya bukan atas kemauan sendiri. Namun atas perintah raja junjungannya. Yaitu Susuhunan Paku Buwono VI. Sebagai abdi dalem yang setia, tentu saja apa yang diperintahkan raja pasti dolaksanakan. 

Karena yang ada dibenaknya,  yang merupakan negara pada saat itu dirinya perang adalah Negara Surakarta Hadiningrat. Sehingga apakah keliru jika sebagai abdi dalem, prajurit dan rakyat Surakarta ikut mempertahankan wilayah negaranya dari serbuan pasukan musuh. Peristiwa tersebut memang harus dicermati dan direnungkan secara bijak. Karena pada masa itu atau 120 tahun lalu belum ada sebuah negara bernama Indonesia. 

Bagi RAA Cokronegoro, negara pada waktu itu adalah Kraton Surakarta yang harus dibela mati-matian. Pimpinan negara adalah Susuhunan Paku Buwono yang semua perinyahnya harus dilaksanakan. Sedang perang yang dilakukan merupakan bentuk kesetiaan kepada negara dan rajanya. RAA Cokronegoro I adalah pribadi yang seia pada raja, negara (saat itu), pertemanan, dan persaudaraan.

 Kesetiaan persahabtan ditunjukkan pada Pangeran Kusumoyudo yang waktu disindir oleh perwira Belanda jika senopati itu takut berperang RAA Cokronegoro selalu membelanya. Bahkan persahabatan tersebut dilanjutkan dengan menikahkan putra mereka. Kesetiaan kepada orang tua ditunjukkan saat akan melaksanakan laku tirakat terlebih dulu pulang dan minta restu dari ibunya. Kesetiaan terhadap saudaranya, dibuktikan sesudah RAA Cokronegoro sebagai Bupati Purworejo, adik bungsunya R Ng Prawironegoro yang selalu mendampinginya diangkat menjadi Wedono di Jenar. 

RAA Cokronegoro juga bukan sosok yang mudah melupakan jasa orang lain. Karena itu, Jayeng Kiwuh sebagai abdi setia kemudian diangkat sebagai Glondhong sumur hidup di Desa Sucen. Begitulah perjalanan hidup R. Ng Reso Diwiryo yang kemudian setelah menjabat sebagai Bupati Purworejo yang pertama bergelar RAA Cokronegoro I. Menjadi Bupati Purworejo, RAA Cokronegoro mendapat penghasilan sebagai berikut :

1.       Menerima hak “siti lenggah” atau tanah bengkok seluas 500 bau (350 hektar) pemberian dari Kraton Surakarta.
2.       Menerima gaji dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar 700 gulden per bulan.
3.       Menerima penghasilan lain-lain atau premi atas hasil tanaman kopi, indigo dan kayu manis sebesar 40.000 gulden per tahun.

RAA Cokronegoro juga mempunyai kewenangan menyelenggarakan pasukan bersenjata (prajurit) atau Jayengsekar sebanyak 80 orang. Jayengsekar ini ini bertugas menjaga keamanan Kabupaten Purworejo. Kesetiaan kepada raja dan negara sudah ditunjukkan. Kesetiaan kepada sahabat, saudara dan abdi setia sudah dilaksanakan. Sakit hati dan kecewa karena sudah mendapat perlakuan tidak adil serta semena-mena sudah dijalaninya. 

Keberanian dan pengorbanannya sudah mengahsilkan berdirinya sebuah kabupaten. Namun di kabupaten yang ia dirikan dan sepanjang hidupnya sudah dicurahkan untuk membangun daerah yang tercinta, namanya sama sekali tidak tercantum dalam  sejarah berdirinya Kabupaten Purworejo. Sungguh ironis.

1 komentar:

  1. Ada perbedaan pandangan tentang kedua belah pihak.
    Tinggal kita melihatnya dari pihak siapa.
    Kalau Diponegoro masih tetap kita anggap dan kita akui sebagai pahlawan nasional, maka tidak mungkin ada 2 pahlawan yang saat itu saling berhadap hadapan (saling berperang) . . .

    BalasHapus