Cokronegoro I atau Raden Mas
Reso Diwiryo adalah putra sulung dari Raden
Bei Singo Wijoyo. Lahir pada hari Rabu
Pahing tanggal 17 Mei 1779
bertepatan pada tahun Ehe 1708 Saka
di Desa Bragolan dalam afdeling Bagelen atau sekarang wilayah Kecamatan Purwodadi. Tidak diketahu
secara pasti apa latar belakang pendidikan RM
Reso Diwiryo. Yang jelas, ketika remaja mengabdi di Kepatihan Kraton Surakarta dengan tugas mengawasi irigasi di daerah
Ampel, Boyolali.
Setelah lama magang (mencalonkan diri
menjadi pegawai istana) akhirnya bisa masuk menjadi abdi dalem Kraton Surakrta
dengan pangkat Mantri Gladhag. Dalam
perpustakaan Kraton Surakarta tidak dijelaskan secara rinci apa tugas dari
Mantri Gladhag. Sejumlah analisa menyebutkan tugas Mantri Gladhak adalah
pengawas para nara pidana yang akan sidang di pengadilan. Ada juga yang
menyebutkan tugas Mantri Gladhag adalah pimpinan kantor pengurus pajak keraton.
Terlepas dari semua itu, sebagai
abdi dalem yang bertugas sebagai Mantri Gladhag RM Reso Diwiryo dipandang
berhasil dalam mengemban tugas. Disebutkan, pada tahun 1812, Pemerintah Kolonial Belanda tergusur. Pemerintah diambil alih
oleh Inggris dengan Jendral Raffles sebagai Gubernurnya. Dengan adanya perubahan
kepimpinan di Batavia (Jakarta)
timbul perlawanan dari Surakarta yang dibantu oleh laskar India (Sipahi) untuk melawan Inggris.
Akibat perlawanan itu, wilayah
afdeling diminta oleh Inggris dari tangan Raja Surakarta. Para Pengeran dan
pembesar keraton yang mempunyai siti
lenggah (tanah bengkok) di Kedu dipindahkan ke afdeling Bagelen. Untuk
melalukan perubahan tersebut tidaklah mudah. Hasil perubahan yang dilakukan
oleh petugas yang melaksanakan pergantian tersebut hasilnya sangat mengecewakan
bagi para Pangeran maupun pembesar keraton.
Mereka kemudian usul kepada raja
supaya petugasnya diganti dan diadakan pengukuran
ulang. Untuk melaksanakan tugas berat itu Sunan Paku Buwono VI memerintahkan RM Reso Diwiryo melakukan
pengukuran ulang. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimiliki oleh RM Reso
Diwiryo, maka dengan cepat dirinya dapat menguasai peta tanah milik Keraton Surakarta. Setelah bisa menguasai peta
tanah keraton dengan pasti, kemudian dibagikan kepada pangeran dan pembesar
keraton sesuai haknya masing-masing.
Hasilnya, semua yang mempunyai
hak atas siti lenggah merasa puas. Atas keberhasilan itu RM Reso Diwiryo
diangkat menjadi Penewu Gladhag dan
bergelar Raden Ngabei Reso Diwiryo. Setelah
peristiwa itu nama R Ng Reso Diwiryo mulai dikenal oleh para pangeran, pembesar
bahkan oleh Sunan Paku Buwono VI. Pada tahun 1819 di wilayah Bagelen sering terjadi kerusuhan yang dilakukan
oleh para begal dan perampok sehingga rakyat sangat ketakutan.
Adanya kerusuhan itu Sunan Paku
Buwono VI kemudian menugaskan R.Ng. Reso Diwiryo dan R.Ng. Wongsocitro untuk menumpas para perusuh. Berkat kesaktian ke
dua orang itu akhirnya para perusuh bisa ditumpas dan keadaan pulih seperti
sediakala. Tahun 1820, Sunan Paku Buwono VI akan membangun sumur di dalam
keraton. Yang mendapat tugas para Mantri dan Pnewu Gladhag. Sunan Paku Buwono
mengawasi sendiri pembuatan sumur tersebut.
Waktu itu R. Ng Reso Diwiryo
bertugas menggali di dalam sumur. Ketika siang hari, para abdi dalem disuruh
berhenti untuk istirahat. R. Ng Reso Diwiryo juga diminta untuk naik dari dalam
sumur dan Sunan Paku Buwono VI sendiri yang menolongnya. Ketika hampir sampai
di bibir sumur tangan Reso Diwiryo diulurkan untuk menyambut tangan Sri Sunan
tapi meleset. Bukan tangan Sri Sunan yang
dipegang, melainkan sebilah keris pusaka keraton yang terselip di
pinggan Sri Sunan.
Sesudah bilah keris dipegang oleh
Reso Diwiryo, sarung keris yang terselip di pinggang Sri Sunan diambil dan
diserahkan pada Reso Diwiryo. Sri Sunan kemuidan memberitahu jika sebenarnya
keris pusaka keraton yang bernama Kyai
Basah itu memang akan diberikan pada Reso Diwiryo. Dalam sekejap, kejadian
itu menjadi buah bibir isi kerato. Para pangeran dan pembesar keraton akhirnya
mengetahui semua kalau Reso Diwiryo baru saja mendapat anugerah keris Kyai Basah
dari Paku Buwono VI karena dianggap abdi yang setia dan cekatan.
Peristiwa itu juga didengar oleh
Patih Danurejo, sehingga selang empat hari kemudian Reso Diwiryo dipanggil ke
kepatihan. Patih Danurejo ingin melihat keris Reso Diwiryo pemberian dari Sri
Sunan. Sebagai abdi dalem keris pemberian Sri Sunan yang masih menggunakan kerangka mamas (emas campuran) itu
ditunjukkan kepada Patih Danurejo.
Setelah melihat ternyata Patih
Danurejo sangat tertarik dan ingin memilikinya. Untuk menjatuhkan mental Reso Diwiryo,
Patih Danurejo mengatakan jika sebenarnya keris itu hanya pantas bagi orang
yang memiliki jabatan serendah-rendahnya seorang bupati dan sangat tidak pantas dimiliki oleh
panewu. Setelah itu Patih Danurejo menyuruh istrinya untuk mengganti keris itu
dengan keris miliknya yang menggunakan kerangka
emas murni dan diberikan kepada Reso Diwiryo.
Namun Reso Diwiryo menolak jika
kerisnya diganti dengan keris lain meski dengan kerangka emas murni. Reso
Diwiryo kemudian beralasan jika sebenarya keris itu bukan pemberian dari Sri
Sunan, tetapi miliknya sendiri yang pada waktu akan menggali sumur dan dipegang
Sri Sunan. Mendengar alasan itu Patih Danurejo tetap tidak percaya dan sangat
kecewa lantaran Reso Diwiryo sudah dianggap berbohong.
Atas penolakan itu Patih Danurejo
menanggap Reso Diwiryo bukan abdi yang setia dan tidak layak menjabat sebagai
Panewu Gladhag. Saat itu pula pangkat Reso Diwiryo diturunkan lagi menjadi
Mantri Gladhag. Kecewa dengan tindakan Patih Danurejo yang sewenang-wenang dan
menganggap dirinya bukan abdi yang setia, Reso Diwiryo kemudian mengundurkan
diri dari pegawai keraton. Jabatan Mantri Gladhag lalu diserahkan kepada anak
sulungnya yang bernama Ngabei Cokrosoro.
Karena kecewa bercampur malu, Reso Diwiryo
kemudian memutuskan tidak akan keluar lagi dari lingkungan rumahnya di
Surakarta. Selain itu Reso Diwiryo juga tidak akan bergaul lagi dengan piyayi
keraton. Dalam masa-masa sulit itu Reso Diwiryo sering dikunjungi dan dihibur
hatinya oleh Pangeran Kusumoyudo
yang sejak dulu memang sangat akrab. Untuk menenangkan diri, Reso Diwiryo
kemudian bertekad akan membersihkan rohaninya dengan cara laku tirakat.
Tirakat yang dilakukan oleh Reso
Diwiryo selama bertahun-tahun itu oleh para sespuh sebagai tirakat “puji
dino”. Laku tirakat ini sangat berat dan bagi orang yang tidak
kuat mentalnya bisa terganggu. Setelah
merasa cukup melakukan tirakat di Surakarta, Reso Diwiryo kemudian mengunjungi
rumah orang tuanya di Tanah Bagelen. Tetapi Reso Diwiryo tidak ketemu ibunya
karena setelah suaminya meninngal Nyai
Singo Wijoyo tidak lagi tinggal di Bragolan.
Nyai Singo Wijoyo memutuskan kembali
ke desa asalnya di Desa Ngasinan
(sekarang masuk wilayah Kecamatan Banyuurip). Setelah bertemu ibunya Reso
Diwiryo kemudian mengutarakan maksud kedatangannya. Yakni ingin melakukan
tirakat “ngluwat”. Tirakat Ngluwat merupakan laku tirakat yang sangat berat.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melakukannya. Tirakat ngluwat adalah
tirakat dengan cara mengubur diri selama 40 hari di dalam tanah. Pada awalnya
Nyai Singo Wijoyo keberatan dengan tindakan yang dilakukan oleh anaknya. Namun
karena tekad Reso Diwiryo sudah bulat, maka dengan cemas Nyai Singo Wijoyo
akhirnya mengijinkan.
Tetapi untuk hal-hal yang tidak
diinginkan tempat untuk mengubur diri Reso Diwiryo dijaga oleh adik bungsunya
yaitu R. Ng Prawironegoro.
Bertepatan dengan Reso Diwiryo yang sedang menempa diri dengan menjalani
sejumlah tirakat, berawal dari Keraton Yogyakarta meletus Perang Diponegoro atau Perang
Jawa tahun 1825 – 1830. Pangeran
Diponegoro yang mendapat dukungan dari sejumlah pangeran dan pembesar keraton
Yogyakarta melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan yang terjadi pada saat
itu.
Pahlawan Gua Selarong ini juga mendapat dukungan dari Kyai Maja ulama besar Keraton Surakarta
yang berasal dari Tanah Bagelen.
Selain itu juga mendapat dukungan dari Sentot
Prawirodirjo, putra adipati Madiun
R. Ng Prawiro Dirjo yang meninggal karena diperdaya Belanda. Peperangan
yang berawal dari Yogyakarta itu terus merebak hingga akhirnya berpusat di
Tanah Bagelen.
Kekuatan dan pertahanan pasukan
Pangeran Diponegoro berada di Sedayu, Kuwojo,
Lugu, Karangduwur, dan Legis.
Markas besar pasukannya berada di Legis dan dipimpin langsung oleh Pangeran
Diponegoro. Dalam mengahadapi peperangan tersebut Belanda benar-benar kewalahan
dan nyaris tidak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro yang menerapkan
perang gerilya.
Kekalahan pasukan Belanda yang
cukup telak terjadi pada hari Kamis
Kliwon tanggal 1 Jumadilawal 1168 Hijriyah atau 7 Januari 1823. Dimana
sekitar 300 pasukan Pangeran Diponegoro berhasil menghancurkan pos terdepan
tentara Belanda di sebelah utara Brengkelan. Pangeran Diponegoro kemudian
membentuk pemerintahan di berbagai wilayah dengan dengan mengangkat Bupati Madyokusomo di Brengkelan.
Disamping itu juga diangkat tumenggung, demang, ronggo. Para
tumenggung yang diangkat antara lain, Tumenggung
Tanggung (wilayahnya sebelah timur Sungai Bogowonto), Tumenggung Loning, Tumenggung Karangduwur, Tumenggung Pacor, Tumenggung
Semawung, Tumenggung Ambal, dan Tumenggung
Wingko. Kewalahan menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro, Pemerintah Hindia
Belanda menyeret Kasunanan Surakarta
untuk terlibat dalam peperangan tersebut.
Alasanya, Tanah Begelen yang
dikuasai oleh Pangeran Diponegoro merpakan wilayah Keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Sebenarnya Paku Buwono VI menolak untuk terlibat dalam peperangan
itu karena terjadinya perang bersumber dari Yogyakarta. Namun lantaran dibujuk
dan diberitahu kalau Tanah Begelen milik Keraton Surakarta sudah direbut
Pangeran Diponegoro, akhirnya Keraton Surakarta memberangkatkan pasukannya
dengan senopati atau penglima perangnya Pangeran
Kusumoyudo.
Pangeran Kusumoyudo adalah paman
dari Susuhunan Paku Buwono VI dan
sahabat karib R. Ng Reso Diwiryo. Sebelum
berangkat ke Tanah Bagelen Pangeran Kusumoyudo memohon agar Paku Buwono VI
memanggil R. Ng Reso Diwiryo untuk mendampingi dirinya. Alasanya, meski sudah
mengundurkan diri sebagai abdi dalem Keraton Surakarta namun R. Ng Reso Diwiryo
adalah abdi setia yang berasal dari Tanah Bagelen.
Susuhunan Paku Buwono VI
kemudian memanggil R. Ng Reso Diwiryo untuk ikut berperang di Tanah Bagelen
dengan pangkat Senopati Pengamping. Tugasnya menjadi penunjuk jalan bagi
pasukan Surakarta dan mendampingi Pangeran Kusumoyudo. Pada awalnya R. Ng Reso
Diwiryo menolah tugas itu dan mengusulkan agar anaknya yang nomor dua yaitu Ngabei Cokrodiwryo. Namun Susuhunan
Paku Buwono VI tidak berkenan karena Ngabei Cokrodiwiryo dianggap belum begitu
menguasai kondisi Tanah Bagelen.
Sebagai abdi setia, R. Ng Reso
Diwiryo akhirnya menerima tugas tersebut. Bersama pasukan Keraton Surakarta R.
Ng Reso Diwiryo kemudian kembali ke Tanah Bagelen. Sejak datangnya bantuan dari
pasukan Keraton Surakarta, pasukan Pangeran Diponegoro mulai terdesak mundur.
Sebagai prajurit sekaligus tangan kanan Pangeran Kusumoyudo kemampuan R. Ng
Reso Diwiryo di medan perang sangat mumpuni dan mendapat pujian dari Keraton
Surakarta.
Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1828 R. Ng Reso Diwiryo
diangkat oleh Susuhunan Paku Buwono VI sebagai Tumenggung di Brengkelan dengan gelar KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Cokro Joyo. Dengan jabatan itu, R.
Ng Reso Diwiryo mendapat hak siti
lenggah atau tanah bengkok seluas 500 bau (350 hektar) di bumi Tanggung (dalam buku tulisan E.S de Clereq disebutkan
: Tanah Kraton Surakarta berada di sebelah timur Sungai Jali, Lesung dan
Bogowonto serta di sebelah selatan Lereng).
Bumi Tanggung adalah tanah di
sebelah timur Sungai Bogowonto dan kini berada dalam wilayah Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo. Selama
perang, Pangeran Kusumoyudo tak pernah
turun ke medan laga dan hanya berada di Tangsi Kedhung Kebo.(seperti dituliskan
ole R. Sudiro Tjokrokusumo dalam buku sejarah Purworejo). Suatu kali R. Ng,
Reso Diwiryo ditanya oleh seorang opsir Belanda tentang kelakuan Pangeran
Kusumoyudo yang tidak mau berperang dan hanya bersenang-senang di markas besar.
R. Ng Reso Diwiryo menjawab bahwa
selama ada dirinya Pangeran Kusumoyudo tidak perlu turun tangan. R. Ng Reso
Diwiryo adalah abdi yang setia kepada Keratoan Surakarta dan Rajanya. Demikian
juga terhadap Pangeran Kusumoyudo yang sudah mengentaskan dirinya dari ketidak
pastian menjadi orang bermartabat. Sehingga R Ng Reso Diwiryo selalu membela
sikap Pangeran Kusumoyudo.
Selama dalam peperangan itu R. Ng
Reso Diwiryo mengajak adik bungsunya R.Ng Prawironegoro dan abdinya Jayeng
Kuwuh. Prang terus berkecamuk dan sepertinya tidak pernah akan berakhir.
Pasukan Pangeran Diponegoro sangat sulit dikalahkan. Pemerintah Hindia Belanda
sangat kesulitan meredam Perang Jawa yang sangat besar tersebut. Akhirnya
melalui Jendrla De Kock mengajak Pangeran Diponegoro untuk mengadakan
perjanjian perdamaian di Magelang.
Pangeran Diponegoro menyetujui
rencana perdamaian itu. Pangeran Diponegoro berangkat di Magelang tanggal 28 Maret 1830 tanpa diiringi
pasukannya. Tapi dengan tipu dayanya Belanda kemudian menangkap Pangeran
Diponegoro dan membuangnya ke Makasar. Sesuai perjanjian antara Raja
Yogyakarta, Surakarta dan Pemerintah Hindia Belanda pada 22 Juni 1830, segera dilakukan pembenahan kepada para bupati maupun
tumenggung yang dulu diangkat oleh Raja Surakarta, termasuk KRT Cokro Joyo atau
R. Ng Reso Diwiryo.
KRT Cokro Joyo kemudian
ditetapkan sebagai Bupati Brengkelan. Hal tersebut sesuai perjanjian bahwa
semua pejabat yang ada di wilayah Bagelen maupun Banyumas tidak ada yang
diganti. Pada saat akan dilantik menjadi bupati, KRT Cokro Joyo mengusulkan
agar nama Brengkelan diganti dengan Purworejo. Alasanya, nama Brengkelan
berasal dari kata mrengkel atau ngeyel. Yang mengandung makna suka
mendebat atau menentang, sehingga dikhawatirkan jika masih menggunakan nama
tersebut daerahnya akan sulit majudan berkembang.
Sementara nama Purworejo bermakna
Purwo berarti awalan atau “wiwitan” dan
rejo artinya kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Pemerintah Hindia Belanda
dan Raja Surakarta menyetujui usulan tersebut sehingga sejak 18 Desember 1830 lahirlah nama Kabupaten
Purworejo.
Adapun bupati yang pertama adalah
Raden Ngabei Reso Diwiryo atau KRT Cokro Joyo yang kemudian setelah
berpangkat bupati dengan nama Raden
Adipati Aryo (RAA) Cokronegoro. Pelantikan dan pengambilan sumpah dilakukan
oleh Penghulu Kabupaten KH Baharudin.
Namun Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Jendral Hindia Belanda baru terbit
tanggal 22 Agustus 1831.
Sehingga dalam menjalankan tugas
sebagai Bupati Purworejo terhitung sejak tahun 1831. Sejarah Berdirinya
Kabupaten Purworejo memang tercatat demikian adanya. Sebab pada zaman itu yang
ada di Indonesia hanya Pemerintahan
Hindia Belanda yang berpusat di Batavia
(Jakarta), Keraton Surakarta dan
Keraton Yogyakarta. Sampai kapanpun
sejarah tetap akan mencatat bahwa yang mengusulkan dan memberi nama Brengkelan
diganti dengan Purworejo adalah RAA Cokronegoro I pada tanggal 18 Desember 1830.
Tulisan ini sama sekali tidak
punya tujuan untuk melawan Peraturan
Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 9/DPRD/1994 yang menetapkan Hari Jadi Kabupaten Purworejo tanggal 5
Oktober 901. Dasar Peraturan Daerah itu dengan ditemukannya Prasasti Kayu Arahiwang di Desa Boro Wetan,
Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo. Keluarga atau trah Singowijayan
hanya ingin memberi pengertian kepada seluruh ahli waris Singowijoyo dan
masyarakat Purworejo pada umumnya siapa sebenarnya pendiri, pemberi nama dan
yang meletakkan dasar-dasar pembanguna di Kabupaten Purworejo.
Disamping itu juga agar
masyarakat Purworejo mengetahui bagaimana sebenarnya jalan pikiran RAA
Cokronegoro I. Untuk mengetahui dan memahami memang harus membaca Serat Babad
Kedhung Kebo yang ditulis sendiri oleh RAA Cokronegoro pada tahun 1831. Serat
Babad Kedhung Kebo setebal 700 halaman tersebut ditulis dalam bentuk kidung
serta menggunakan bahasa kawi yang sangat indah. Hal itu menunjukkan bahwa RAA
Cokronegoro I bukan hanya sekedar seorang prajurit,
priyayi, dan abdi dalem saja.
Melainkan juga seorang seniman besar yang
mampu merangkai babad yang panjang. Berikut adalah cuplikan kidung yang sudah
dijadikan tesis oleh sarjana Belanda
Pieter Carrie. Dalam kidung dengan lagu “mijil” salah satu bait menyebut-nyebut nama Pengeran Diponegoro.
Diantaranya berbunyi sebagai berikut :
“Yayi Mas Ontowiryo sangkara neki
Urut Sewu Lan Temon sing diceker
Kedhundung, Balak, Nimbuli
Puyuh-puyuh sinarpada yeki
Sun balang belanggur”.
Yang arti luasnya :
“Dinda Ontowiryo mengapa begini
Urut Sewu dan Temon kenapa dirusak
Masih ditambah Kedhundung, Balak dan Nimbuli
Dhuh-dhuh, waspadalah sekarang
Akan kulempar kau dengan meriam”
Ontowiryo
adalah nama kecil dari Pangeran Diponegoro. Dengan menyebut “yayi” atau adinda,
jelas bahwa hubungan antara dirinya dengan Pangeran Diponegoro sangat dekat.
Bila pada saat itu dirinya melakukan perlawanan sebenarnya bukan atas kemauan
sendiri. Namun atas perintah raja junjungannya. Yaitu Susuhunan Paku Buwono VI.
Sebagai abdi dalem yang setia, tentu saja apa yang diperintahkan raja pasti
dolaksanakan.
Karena
yang ada dibenaknya, yang merupakan
negara pada saat itu dirinya perang adalah Negara Surakarta Hadiningrat.
Sehingga apakah keliru jika sebagai abdi dalem, prajurit dan rakyat Surakarta
ikut mempertahankan wilayah negaranya dari serbuan pasukan musuh. Peristiwa
tersebut memang harus dicermati dan direnungkan secara bijak. Karena pada masa
itu atau 120 tahun lalu belum ada sebuah negara bernama Indonesia.
Bagi
RAA Cokronegoro, negara pada waktu itu adalah Kraton Surakarta yang harus
dibela mati-matian. Pimpinan negara adalah Susuhunan Paku Buwono yang semua
perinyahnya harus dilaksanakan. Sedang perang yang dilakukan merupakan bentuk
kesetiaan kepada negara dan rajanya. RAA Cokronegoro I adalah pribadi yang seia
pada raja, negara (saat itu), pertemanan, dan persaudaraan.
Kesetiaan persahabtan ditunjukkan pada
Pangeran Kusumoyudo yang waktu disindir oleh perwira Belanda jika senopati itu
takut berperang RAA Cokronegoro selalu membelanya. Bahkan persahabatan tersebut
dilanjutkan dengan menikahkan putra mereka. Kesetiaan kepada orang tua
ditunjukkan saat akan melaksanakan laku tirakat terlebih dulu pulang dan minta
restu dari ibunya. Kesetiaan terhadap saudaranya, dibuktikan sesudah RAA
Cokronegoro sebagai Bupati Purworejo, adik bungsunya R Ng Prawironegoro yang
selalu mendampinginya diangkat menjadi Wedono di Jenar.
RAA
Cokronegoro juga bukan sosok yang mudah melupakan jasa orang lain. Karena itu,
Jayeng Kiwuh sebagai abdi setia kemudian diangkat sebagai Glondhong sumur hidup
di Desa Sucen. Begitulah perjalanan hidup R. Ng Reso Diwiryo yang kemudian
setelah menjabat sebagai Bupati Purworejo yang pertama bergelar RAA Cokronegoro
I. Menjadi Bupati Purworejo, RAA Cokronegoro mendapat penghasilan sebagai berikut
:
1.
Menerima hak “siti lenggah” atau tanah bengkok
seluas 500 bau (350 hektar) pemberian dari Kraton Surakarta.
2.
Menerima gaji dari Pemerintah Hindia Belanda
sebesar 700 gulden per bulan.
3.
Menerima penghasilan lain-lain atau premi atas
hasil tanaman kopi, indigo dan kayu manis sebesar 40.000 gulden per tahun.
RAA
Cokronegoro juga mempunyai kewenangan menyelenggarakan pasukan bersenjata
(prajurit) atau Jayengsekar sebanyak 80 orang. Jayengsekar ini ini bertugas
menjaga keamanan Kabupaten Purworejo. Kesetiaan kepada raja dan negara sudah
ditunjukkan. Kesetiaan kepada sahabat, saudara dan abdi setia sudah
dilaksanakan. Sakit hati dan kecewa karena sudah mendapat perlakuan tidak adil
serta semena-mena sudah dijalaninya.
Keberanian
dan pengorbanannya sudah mengahsilkan berdirinya sebuah kabupaten. Namun di
kabupaten yang ia dirikan dan sepanjang hidupnya sudah dicurahkan untuk
membangun daerah yang tercinta, namanya sama sekali tidak tercantum dalam sejarah berdirinya Kabupaten Purworejo.
Sungguh ironis.