Bedhug Pendhowo dibuat pada tahun
1834 dibawah pengawasan Wedono Jenar Raden Ngabehi Prawironegoro. Bedhug
Pendowo terbuat dari pangkal batang pohon jati Pendhowo yang dulu tumbuh di
Dukuh Pendhowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, sekitar 9 kilometer arah
selatan Kota Purworejo.
Pangkal batang pohon jati
Pendhowo memiliki garis tengah lebih dari dua meter dengan ketinggian pohonya
mencapai puluhan meter. Pohon jati Pendhowo berukuran “raksasa” ini usianya
sudah ratusan tahun. Desa Bragolan sendiri merupakan tanah kelahiran Raden
Ngabehi Singo Wijoyo yang tak lain ayah Cokronegoro I.
Sehingga pada saat menjabat
Bupati Purworejo dan ingin membangun masjid serta pendopo kabupaten, Cokronegoro I menugaskan orang untuk menebang
pohon tersebut. Cabang-cabang pohon jati Pendhowo selanjutnya digunakan untuk
membangun masjid dan pendopo kabupaten. Sementara pangkal batangnya yang
berukuran sangat besar itu digunakan untuk membuat sebuah bedhug.
Begitu besarnya ukuran pangkal
batang tersebut sehingga pembuatan bedhug “raksasa” dilakukan ditempat. Pembuatan
bedhug memakan waktu sekitar tujuh bulan. Prosesnya, setelah batang kayu
dikupas, bagian dalam pangkal batang dibakar dengan arang kayu asam. Sebab
hanya arang kayu asam saja yang dapat dan mampu menembus kayu jati berusia
ratusan tahun.
Untuk menembus batang kayu
membutuhkan waktu pembakaran sekitar tiga bulan. Setelah tembus kemudian dirapikan
dengan tatah dan membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Setelah bedhug jadi,
muncul persoalan baru, yakni bagaimana cara mengangkut bedhug tersebut ke
Masjid Agung di Purworejo. Apalagi pada waktu itu sarana transportasi masih
sangat terbatas ditambah kondisi jalan tidak semulus seperti sekarang ini.
Belum lagi ukuran bedhug Pendhowo
yang luar biasa besar. Panjang bedhug 292 cm, lingkaran bagian depan 601 cm,
lingkaran belakang 564 cm, diameter bagian depan 194 cm dan diameter bagian
belakang 180 cm. Akhirnya bupati mengadakan sayembara barang siapa mampu
membawa bedhug Pendhowo dari Desa Bragolan ke Masjid Agung akan diberi hadiah
yang layak. Setelah beberapa lama berlalu akhirnya ada orang yang sanggup
membawa bedhug tersebut.
Orang itu adalah Kiai Irsyad,
seorang ulama besar dari Desa Solotiang, Loano. Namun demikian Kiai Irsyad
tidak sendirian dalam memboyong bedhug tersebut, melainkan dibantu oleh puluhan
orang. Metode yang digunakan Kiai Irsyad dalam mengangkut bedhug tersebut cukup
unik dan cerdas. Yaitu dengan menaruh gelondongan –gelondongan kayu kecil
dibawah bedhug.
Setiap gelondongan kayu kecil
yang sudah terlewati bedhug akan ditaruh didepan sehingga akan sambung
menyambung layaknya roda-roda kecil. Mengingat besarnya bedhug, Kiai Irsyad
mendirikan 20 pos peristirahatan. Setiap hari pengangkutan harus mampu mencapai
satu pos yang berjarak sekitar 500 meter.
Setiap berhenti pada pos
peristirahatan para pekerja akan dihibur oleh kesenian tayub dan penari wanita
atau teledhek. Karena itu, cerita yang berkembang di masyarakat pada waktu itu
mengibaratkan bedhug tersebut ditarik oleh selendang penari tayub. Demikian
seterusnya hingga perjalanan itu sampai ke Purworejo.
Untuk pengangkutan bedhug
tersebut dibutuhkan waktu sekitar 21 hari. Agar awet dan bertahan lama ,
Bedhug Pendhowo menggunakan kulit
banteng dari Desa Sucen persembahan dari Glondhong Jayeng Kewuh yang tak lain
teman seperjuangan Cokronegoro I. Untuk menambah gaung suara, di dalam Bedhug
Pendhowo digantungkan gong.
Supaya tidak cepat rusak, Bedhug
Pendhowo hanya ditabuh pada hari Jum’at atau perayaan keagamaan Islam. Hingga
kini Bedhug Pendhowo merupakan salah satu aset wisata relegius yang tidak
pernah sepi dikunjungi wisatawan. Sampai sekarang Bedhug Pendhowo masih
tercatat sebagai bedhug terbesar di Indonesia yang bahanya terbuat dari kayu
utuh tanpa sambungan.
Memang ada bedhug sejenis yang
besarnya melebihi Bedhug Pendowo, namun semua menggunakan bahan kayu sambungan.
Sehingga ke istimewaanya masih kalah dibanding Bedhug Pendhowo. Bedhug raksasa
di Indonesia atau mungkin di dunia hanya ada dua. Seperti ditulis oleh Harian Kompas terbitan 22 Februari 1978,
ketika Masjid Istiqlal diresmikan, kutipannya sebagai berikut :
“Dengan adanya bedhug besar
Masjid Istiqlal ini, Indonesia kini memiliki dua buah bedhug raksasa.
Sebelumnya, bedhug Masjid Purworejo merupakan bedhug terbesar di Tanah Air.
Garis tengahnya hanya berbeda 8 cm. Bedhug Istiqlal 2 meter, sedang Purworejo
1,92 meter yang dibuat kurang lebih satu abad yang lalu”.
Bedhug Pendhowo adalah salah satu
karya besar RAA Cokronegoro I yang kini diwariskan kepada masyarakat di
daerahnya. Meski Cokronegoro I sudah banyak berjasa pada daerahnya, sayang
namanya tidak pernah diingat apalagi dihargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar