Raden Adipati Aryo Sugeng
Cokronagoro IV adalah buyut RAA Cokronagoro I atau putra RAA Cokronagoro III
dengan istri yang berasal dari keluarga Kraton Yogyakarta. RAA Sugeng
Cokronagoro IV adalah putra ketiga dari RAA Cokronagoro III. Beliau diangkat
sebagai Bupati Purworejo karena kedua kakaknya perempuan semua. RAA Cokronagoro
IV memerintah Kabupaten Purworejo selama 12
tahun, dari 1907-1919.
Namun demikian RAA Cokronagoro IV
sudah sejak muda terlibat dalam pemerintahaan. Dirinya sering mewakili ayahnya
menghadiri acara resmi atau dalam hal mengatur pemerintahaan. Hal itu lantaran
kondisi fisik ayahnya yang lemah dan sering sakit-sakitan. Sebelum menjabat
sebagai bupati, RAA Cokronagoro IV banyak sekali mengadakan kegiatan. Sejumlah
saluran irigasi dan bendung mulai dibangun.
Sejumlah bendung hasil karya RAA
Cokronagoro IV adalah, Bendung
Penungkulan dengan selokannya, Bendung Guntur dengan selokannya, Bendung
Kalisemo, dan Bendung Kedung Pucang di Desa Trirejo. Dalam masa
pemerintahaan RAA Cokronagoro IV sudah mulai bangkit kesadaran nasional dengan
berdirinya Boedi Oetomo yang
didirikan oleh dokter Sutomo.
Berdirinya gerakan Boedi Oetomo sangat berpengaruh terhadap jiwa RAA
Cokronagoro IV.
Beliau sadar betapa pentingnya
pribumi menerima pendidikan sekolah. Sebelumnya belum pernah ada kesempatan
para pribumi yang bukan golongan priyayi bisa menerima pendidikan di sekolah.
Para pribumi di pedesaan dibiarkan buta huruf dan bodoh agar mau menjadi kuli.
Melihat kenyataan itu RAA Cokronagoro berinisiatif mendirikan Sekolah Desa yang lama
pendidikannya hanya tiga tahun.
Pada tahun 1911 di Kabupaten Purworejo didirikan sekolah “Ongko Loro” yang jenjang pendidikannya selama lima tahun. Sekolah tersebut didirikan di ibu kota Asisten Wedono (Kecamatan) yang padat penduduk.
Bagi siswa sekolah Ongko Loro yang sudah tamat eksamen (ujian) bisa mengikuti kursus tambahan selama enam bulan. Mereka yang sudah tamat
kursus selanjutnya bisa menjadi guru dan mengajar di sekolah Ongko Loro.
RAA Cokronagoro IV termasuk orang
yang sangat peduli dan getol dalam hal meningkatkan pendidikan bagi rakyatnya.
Memasuki tahun ke lima sekolah Ongko Loro didirikan, mulai banyak calon guru
yang selesai mengikuti kursus. Sehingga pada tahun 1915 sejumlah sekolahaan mulai dibangun. Sekolah Ongko Loro yang
didirikan antara lain :
1. Banyuasin untuk mendidik anak-anak di
wilayah Asisten Wedono (Kecamatan )
Loano.
2. Pangen Gudang untuk anak-anak di
wilayah Asisiten Wedono Purworejo.
3.
Banyuurip,
untuk anak-anak di wilayah Asisten
Wedono Banyuurip.
4.
Bayan,
untuk anak-anak di wilayah Asisten
Wedono Bayan.
5.
Kemanukan,
untuk anak-anak di wilayah Asisten
Wedono Soko. Sebagai catatan, dulu di
Kabupaten Purworejo ada Asisten Wedono Soko yang letaknya di sebelah timur
Sunagi Bogowonto. Namun kemudian Kecamatan Soko dihapus dan kini masuk dalam
wilayah Kecamatan Bagelen.
6. Kuwojo, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Bagelen.
Jiwa dan karakter RAA Cokronagoro
IV bukan saja dipengaruhi oleh berdirinya Boedi Oetomo, namun juga oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo yang sangat
giat sekali mendidik bangsanya agar dapat berpikiran maju. Selain itu juga
dipengaruhi oleh semangat Raden Ajeng
Kartini. Sehingga pada waktu itu anak-anak perempuan mulai diijinkan ikut
sekolah. Maka dibangunlah sekolah khusus untuk perempuan yang bernama Meisjeskopschool yang terletak di
Purwodadi dan Purworejo.
Pada masa pemerintahaan RAA
Cokronagoro IV Karesidenan Bagelen sudah tidak ada lagi. Kabupaten yang ada di
wilayah Karesidenan Bagelen masuk Karesidenan Kedu. Penghapusan Karesidenan Begelen
terjadi pada 1 Agustus 1901. Untuk
diketahui, sejak tanah Bagelen dan Banyumas diminta pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1830, oleh pemerintah Hindia Belanda tanah Bagelen dijadikan daerah
kekuasaanya dengan status Gewest
atau Residentie (Karesidenan).
Sehingga Purworejo sebagai kota administrative
juga berakhir pada 1 Agustus 1901.
Tahun 1928 saat Provincie Midden Java (Propinsi Jawa Tengah) dipimpin oleh Gubernur PJ. Van Gulik, daerah Gewest atau karesidenan diubah manjadi
daerah yang lebih kecil namun jumlahnya banyak. Daerah yang lebih kecil dan
jumlahnya banyak itu kemudian disebut Regenscap
(Kabupaten). Istilah Karesidenan kembali jadi afdeling Bagelen.
Karena sejak lama sudah ada
istilah afdeling di tanah Bagelen maka tanah Bagelen disebut Bestut afdeling Bagelen adan akhirnya
berkembang menjadi Kabupaten Purworejo. Peristiwa yang terjadi pada masa
pemerintahaan RAA Cokronagoro IV adalah pemugaran benteng (tangsi) Kedung Kebo. Tangsi yang awalnya hanya dengan
pagar kawat berduri dan bambu, oleh pemerintah Hindia Belanda diperkuat dengan
dibangunnya pagar tembok.
Hal itu merupakan upaya
Pemerintah Kolonial Belanda agar dapat mengawasi semua gerak gerik RAA
Cokronagoro IV yang selama ini dikenal dekat dengan keluarga Taman Siswa dari
Yogyakarta. Jiwa RAA Cokronagoro IV
memang dikenal cukup keras. Dirinya merasa selama memerintah sering ditekan
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hak-haknya sebagai seorang bupati sering
dibatasi. Karena itu tidak jarang RAA Cokronagoro IV menentang Pemerintah Hindia
Belanda.
Rupanya sikap tersebut tidak
disenangi oleh Belanda. Banyak laporan mengenai sikap keras dan menentang yang
ditunjukkan oleh RAA Cokronagoro. Namun yang paling fatal dan dipandang sebagi
satu kesempatan untuk menurunkan dari jabatan bupati ketika RAA Cokronagoro IV
mengawini wanita Eropa bernama Johanna
Giezenberg. Oleh Pemerintah Belanda perkawinan itu dianggap kesalahan
besar.
Sebab dimasa penjajahan pribumi
masuk golongan warganegara kelas dua.
Warganegara kelas satu adalah orang-orang Belanda dan Eropa. Karena itu, meski
RAA Cokronagoro menjabat sebagai bupati tetap saja tidak diperbolehkan
mengawini wanita Eropa. Akibatnya pada tahun 1919 RAA Cokronagoro IV diturunkan dari jabatannya dengan tidak
hormat. Menerima perlakuan tersebut hati RAA Cokronagoro IV sakit dan merasa
terhina sehingga dirinya kemudian pindah ke Yogyakarta.
Karena kursi bupati kosong, Patih KRT Sastro Sudarjo kemudian
diangkat sebagai pejabat sementara Bupati
Purworejo sampai tahun 1921. Setelah
dua tahun menetap di Yogyakarta, RAA Cokronagoro IV dipanggil oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Dipanggilnya RAA Cokronagoro IV untuk dilantik kembali menjadi
Bupati Purworejo, namun pada hari itu juga turun Surat Keputusan Pensiun.
Peristiwa itu terjadi pada tahun
1921. Kejadian itu cukup menggoncangkan jiwa RAA Cokronagoro IV. RAA Cokronagoro IV merasa sudah dipermalukan
di depan rakyatnya. Sehingga sesudah pensiun dirinya kembali lagi ke
Yogyakarta. Pada tanggal 29 Januari 1936
RAA Cokronagoro IV meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Makam Lempuyangan yang menjadi makam
khusus KRT Cokrojoyo.
Namun seiring perkembangan jaman
dan dinilai makam tersebut sudah tidak kondusif, pada tanggal 18 Juli 2003 dipindahkan ke Makam Bulus Hadipurwo di Desa Bulus, Kecamatan Gebang Purworejo. Makam Bulus Hadipurwo
adalah makam khusus trah Cokronagoro.
Pada masa pemerintahaan RAA
Cokronagoro IV dibangun Zending (Rumah
Sakit Umum) yang kini menjadi milik Pemda Purworejo dan berganti nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Saras Husada.
Pembangunan Zending dilakukan pada tahun 1915.
Selain itu juga didirikan rumah sakit militer yang kini sudah berganti nama
menjadi Rumah Sakit Tentara.
Sebelum bupati cokronegero I dimakamkan di Bulus,disitu sudah ada Makam kyai Ropingi.
BalasHapusjadi kurang tepat kalo Bulus disebut makam khusus trah cokrinegoro.