Apapun yang dikatakan orang
tentang RAA Cokronagoro I, satu yang pasti karya-karya besar telah dibuat demi
daerahnya. Bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Kabupaten Purworejo, jalan
sekitar alun-alun, juga dilakukan perbaikan jalan yang menuju Kedhung Kebo.
Pada saat itu juga RAA Cokronagoro berniat membangun saluran irigasi dengan
memanfaatkan Sungai Bogowonto.
Gagasan itu muncul setelah
melihat petani di daerahnya sering sekali kesulitan air. Saluran air yang
mengambil dari Sungai Bogowonto tersebut sampai sekarang dikenal dengan nama
Kedhung Putri. Saluran ini mampu mengairi sawah seluas 3.800 hektar. Pembuatan
saluran dimulai dari Bukit Geger Menjangan hingga Purworejo.
Karya pembangunan
yang sangat fantastik ini dituturkan dalam buku “Kedhung Kebo” (bukan Serat
Babad Kedhung Kebo), Naskah KBG Nr 5
Koleksi Bagian Naskah Perpustakaan Nasional di Jakarta (hlm 680-684).
Bagi RAA Cakronagoro yang pada
saat mengabdi di Kepatihan Surakarta pernah mendapat tugas menangani irigasi di
Ampel, Boyolali, merasa tidak asing lagi dalam bidang keirigasian. (Pieter BR Carey, Babad Diponegoro, An
Account of Outbreak of The Java War (1825-1830). (The Surakarta court version
of the Babad Diponegoro, 1981 : XXVI). Ide pembangunan saluran irigasi dari
Geger Menjangan sampai Purworejo mula-mula dibicarakan dengan Residen Bagelen JWH Smissaert.
Setelah mendapat persetujuan dari Residen
Bagelen, RAA Cokronagoro kemudian membuat surat perintah kepada para priyayi
untuk menggali tanah guna pembuatan saluran irigasi. Penggalain dimulai dari
Desa Panungkulan hingga Gunung Geger Menjangan dan akhirnya masuk Purworejo.
Demikianlah pekerjaan raksasa tersebut dimulai. Seluruh pekerjaan
tanggungjawabnya diserahkan kepada empat Wedono.
Metodenya mirip “gugur gunung” (gotong royong) atau dengan sistem padat karya. Ke
empat wedono setiap hari mengerahkan sekitar 5.000 orang. Dalam buku
Kedhung Kebo disebutkan, titi mangsa dimulainya pembangunan saluran irigasi
Kedhung Putri jatuh pada Hari Kamis,
tanggal 1 Syawal tahun Be 1760 atau tanggal
3 Mei 1832 bertepatan dengan awal musim kemarau.
Pekerjaan pembuatan saluran
irigasi tersebut membutuhkan waktu sekitar satu setengah tahun. Di kiri kanan
saluran irigasi tersebut dibuat tanggul selebar dua meter. Untuk mengantisipasi
agar tidak terjadi banjir saat air melimpah tanggul tersebut ditanami rumput.
Pada setiap jarak dua kilometer dibuat pembagi air.
Sehingga sawah di sepanjang
aliran bisa menerima oncoran dari saluran irigasi tersebut. Untuk mengawasi
aliran air tetap teratur mengocori sawah ditugaskan dua orang yang disebut Jagatirta. Orang ini bertugas membagi
air di masing-masing bendung.
Sedang untuk merawat tanggul
supaya selalu kondisinya terjaga ditunjuk sejumlah orang yang disebut kuli anjir. Baik Jagatirta maupun kuli
anjir menerima upah berupa sawah garapan
(semacam bengkok) yang diberi langsung oleh bupati. Pada waktu itu ada
aturan ternak dilarang keras digembalakan di tanggul saluran. Karena
dikhawatirkan ternak-ternak tersebut merusak kondisi tanggul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar