Khidmat, Peringatan Ke-182 Jumenengan RAA Cokronagoro I
Peringatan ke 182 tahun (27
Pebruari 1831-2013) dilantiknya RAA Cokronagoro I sebagai Bupati Purworejo I,
berlangsung khidmat. Pada kesempatan tersebut juga diluncurkan buku yang memuat
kiprah RAA Cokronagoro I membangun Kabupaten Purworejo, yang ditulis H R Oteng
Suherman dan Supriyo SPdI, Rabu (27/2), di pendopo rumah dinas bupati.
Peringatan yang baru kali pertama
diselenggarakan itu, dihadiri beberapa tokoh penting seperti mantan Menteri
Hukum dan HAM Muladi SH MH, serta mantan Pangdam V/Brawijaya Mayjen Suwarno. Ratusan
undangan hadir dalam acara tersebut. Mulai dari pejabat pemda, TNI/Polri, para
kepala sekolah, trah Cokronagoro dan trah Jayeng kiwuh. Trah Cokronagoro dan Jayeng
Kiwuh tidak hanya dari Purworejo saja, melainkan juga datang dari luar daerah.
Rangkaian acara jumenengan Bupati
RAA Cokronegoro I diawali dengan ziarah ke makam Cokronegoro I, III, IV di Desa
Bulus serta Cokronegoro II di Kayulawang Jumat (22/2). Pada acara Jumenengan di
pendopo, diawali dengan pembacaan ringkas sejarah RAA Cokronegoro I.
Selanjutnya sambutan dari
perwakilan trah Cokronegoro, pembukaan selubung lukisan RAA Cokronegoro I,
pembagian buku Kiprah RAA Cokronegoro I Membangun Kabupaten Purworejo karya
Oteng Suherman. Pada kesempatan itu juga ditampilkan Tari Bedhaya Serimpi oleh
sembilan gadis dari Sanggar Tari Prigel. Acara diakhiri dengan pemotongan
tumpeng dan penyematan lencana Bintang Cakranegara.
Dalam kesempatan itu, Bupati
Mahsun Zain juga mendapat penghargaan Lencana Bintang Cakranegara dari kelurga
Cokronagoro yang disematkan Budi Sarjono BRE, salah satu anggota
keluarga. Lencana tersebut berlambangkan 8 anak panah sebagai simbol Hasta
Brata, sebuah ajaran jawa yang memuat delapan sifat yang harus dimiliki seorang
pimpinan.
Muladi, selaku salah satu
keluarga meminta kepada Pemda Purworejo untuk mengenang nama besar dan
jasa-jasanya, agar kegiatan peringatan jumenngan dijadikan even setiap
tahunnya. Hal senaga juga disampaikan dari trah Cokronagaro melalui dr Pancer
Budi Waluyo Purwoharsono, agar nama Cokronagoro diabadikan sebagai nama jalan
di Kabupaten Purworejo.
Usulan tersebut direspon Bupati
Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg. Namun karena pemberian nama jalan berdasarkan
perda, maka hal itu perlu dibahas dengan dewan. Sedangkan nama Cokronagoro,
sudah digunakan untuk nama gedung sentra pemuda di Desa Butuh.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa,
masyarakat Purworejo perlu memperingati agar tidak kehilangan kiblat. Karena
apabila generasi penerus lupa terhadap pendahulunya, sama saja sombong. Sebagai
generasi penerus, berkewajiban mikul duwur mendem jero. “Makanya tadi kita
membaca tahlil dan doa, untuk mendoakan arwah beliau,” katanya.
Ia mengakui RAA Cokronagoro I
merupakan pendiri Kabupaten Purworejo. Beberapa bangunan yang saat ini masih
berdiri megah merupakan hasil karya beliau. Ia mengakui, bahwa ia dan
bupati-bupati sebelumnya tidak membangun sendiri, namun hanya melanjutkan program
bupati I.
Komunitas Warga Pecinta Purworejo Tuntut Hari Jadi
Diluruskan
Sejumlah orang yang tergabung
dalam Paguyuban Warga Pelurus Hari Jadi Purworejo (PWPHP) mengadakan saresehan
atau gendu-gendu roso di Hotel Suronegaran Senini (5/11). Dalam kesempatan itu
mereka membahas masalah Hari Jadi Purworejo yang dinilai tidak tepat dan sarat
kepentingan.
Menurut kelompok ini, penentuan
Hari Jadi Purworejo yang berdasarkan penemuan Prasasti Kayu Arahiwang di Desa
Boro Wetan tak lebih sekedar rekayasa
budaya semata. Intinya, ada sandiwara permainan sebelum diteliti Tim
formal yang dibantu oleh UGM. “Tim peneliti beserta UGM pada dasarnya tidak
bekerja meneliti apa-apa. Karena jauh sebelum diteliti selama dua tahun sudah
ada kesepakatan kotor di bawah tangan,” kata koordinator Komunitas Warga
Pecinta Purworejo (KWPP) Liyanto Binar.
Masih kata Liyanto Binar, yang
tersirat dalam Prasati Kayu Arahiwang hanyalah bukti otentik adanya daerah
tertentu (masyarakat berkumpul menetapkan daerah). Namun demikian dari dulu
hingga sekarang tidak jelas siapa pemegang kekuasaan dan turunan urutan
silsilah penguasanya. “Serba tidak jelas dan tidak sesuai fakta sejarah kok
dipaksakan menjadi hari jadi, itu sama saja ngoyoworo,” ujarnya. Masih kata Liyanto
Binar, Tim peneliti maupun perumus Hari Jadi Purworejo pada saat itu dianggap
sekelompok orang yang ingkar dan tidak menghargai karya pendahulunya.
Diungkapkan, Tim peneliti bicara
tidak jelas tapi intinya ingin mengatakan bahwa Cokronegoro I (Bupati Purworejo
pertama) adalah musuh Pahlawan Nasional yang bisa diartikan juga musuh NKRI,”
tandasnya. “Jika bupati pertama dianggap penghianat NKRI apa bupati-bupati
penerusnya sampai sekarang ini juga akan dianggap penerus penghianat. Dan karya
besar Cokronegoro I seperti Bedug Pendowo, Pendopo Kabupaten, Saluran Kedung
Putri dan lainnya juga perlu dimusnahkan, mari kita renungkan kembali,” tegas
Liyanto Binar.
Komplek Makam Adipati Cokronegoro Dipugar
Kompleks makam Bupati Purworejo Pertama Adipati Cokronegoro I di Desa Bulus Kecamatan Gebang dipugar dan diperbaiki oleh ahli warisnya. Pemerintah setempat tidak mengucurkan bantuan sedikitpun untuk membantu rehabilitasinya.
Pemugaran dilakukan setelah bangunan cagar budaya tersebut sudah mengalami kerusakan di beberapa bagian. Bahkan, tembok belakang makam sepanjang 18 meter sudah retak, posisinya miring dan terancam ambrol.
Selain itu, kayu jati pada rangka atap juga sudah lapuk. "Ada bagian yang rusak dan harus dipugar, kalau ditambal sulam saja tidak akan jadi," kata Solihun, pekerja pemugaran kompleks makam, kepada KRjogja.com, Senin
(26/12).
Pemugaran makam yang didirikan tahun 1835 itu sudah dilakukan sejak sebulan terakhir. Rencananya, rehabilitasi tersebut akan dilakukan secara bertahap dengan rentang waktu tiga tahun.
Pemugaran besar terakhir dilakukan sekitar tahun 1931 dengan membangun kuda-kuda pada tembok belakang komples makam. Setelah itu, ahli waris melakukan rehabilitasi ringan dengan mengganti kayu lapuk atau atap bocor.
Juru kunci makam, Asrudin (33) menambahkan, ahli waris akan memperkuat tembok dengan rangka beton. Selain itu, lantai juga akan dilapis dengan keramik.
"Namun, rencananya bentuk bangunan tidak akan diubah dan sesuai dengan aslinya mengingat makam merupakan cagar budaya," terangnya.
Ditambahkan, keturunan Cokronegoro I terpaksa melakukan pemugaran sendiri karena pemerintah setempat tidak menyetujui proposal yang diusulkan. Pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan pemugaran bangunan sejak tahun
2002, namun tidak direspon dengan alasan terbatasnya anggaran.
Sumber : Krjogja.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar